Hukum Menjawab Salam Presenter TV dan Radio
Dikutip dari :
http://dir.groups.yahoo.com/group/assunnah/message/48668
Memberi salam hukumnya sunah, sedang menjawab salam hukumnya wajib. Jika berada dalam sebuah jamaah, hukum menjawab salam menjadi fardhu kifayah. Asalkan sudah ada yang menjawab maka sudah cukup. Kiranya, masalah ini telah kita pahami bersama. Kemudian, satu persoalan kontemporer yang muncul seputar kewajiban menjawab salam adalah, apa hukum menjawab salam yang berasal dari suara radio, presenter TV, kaset, bel rumah hingga surat atau artikel yang menulisakan salam pada permulaannya?
Masalah ini cukup penting kita kaji karena seringnya kita tidak mengindahkan ucapan-ucapan salam semacam itu. Kebanyakan kita menganggap bahwa kewajiban menjawab salam adalah jika diucapkan oleh seseorang secara langsung.
Jawaban persoalan ini bisa kita dapatkan pada salah satu fatwa dari Syaikh Shalih bin Fauzan, beliau menyatakan bahwa;
"Wajib hukumnya menjawab salam jika mendengarnya dari orang secara langsung atau melalui media tulisan atau media elektronik yang ditujukan untuk pembacanya atau pendengar. Hal ini berdasarkan pada keumuman dalil tentang wajibnya menjawab salam."
Fatwa tersebut dimuat dalam al Muntaqa min Fatawa al Fauzan fatwa untuk pertanyaan no 511.
Adapun dalil-dalil tentang wajibnya menjawab salam diantaranya;
"Apabila kamu dihormati dengan suatu tahiyah, maka balaslah tahiyah itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. 4:86)
Rasulullah bersabda, "Kewajiban seorang muslim atas muslim yang lain ada lima; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin." (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Panjang lebar Imam al Qurthubi menjelaskan maksud ayat diatas. Menurut beliau, maksud tahiyah dalam ayat diatas –sesuai pendapat yang shahih dari beberapa pakar tafsir- adalah salam. Ulama juga sepakat bahwa memberi salam hukumnya sunah dan menjawabnya wajib. Mereka hanya berselisih pendapat tentang apakah kewajiban menjawab gugur jika salah seorang sudah menjawabnya? Imam Malik dan asy Syafi'i menyatakan gugur kewajibannya sedang al Kufiyun (para ulama Kufah) menyatakan tetap menjadi fardhu kifayah. Bahkan Imam Qatadah dan al Hasan mengatakan bahwa seorang yang tengah shalat harus menjawab salam jika salam ditujukan padanya dan hal itu tidak membatalkan shalatnya.
Dengan demikian saat mendengar ceramah dari kaset ataupun radio dan diucapkan salam hendaknya kita menjawabnya. Demikian pula saat membaca surat yang ditujukan pada kita, bisa dengan ucapan atau tulisan. Perlu diingat bahwa sunah apalagi kewajiban, apapun, yang diperintahkan syariat tak sepatutnya diremehkan.
Salam adalah sapaan yang bisa menumbuhkan rasa kasih sayang dan mempererat persaudaraan. Sebuah do'a untuk kebaikan bagi kita hingga sudah selayaknya jika kita membalas dengan doa kebaikan pula. Namun, jika doa berupa salam tersebut tidak diucapkan dengan benar dan hanya asal-asalan, tak ada kewajiban bagi kita menjawabnya. Misalnya ucapan salam yang sering kita dengar seperti "lam lekom" atau "slamlekom" atau salam dengan tulisan yang hanya Ass, WR WB. Sebab, tak ada doa yang terkandung dalam ucapan tersebut.
Menjawab salam memang wajib dan memberi salam memang sunah. Namun demikian ada beberapa kondisi dimana seseorang sebaiknya tidak memberi salam. Diantaranya adalah; kepada orang yang tengah buang hajat, orang yang sedang adzan maupun shalat, sedang mengantuk, orang yang dimulutnya ada makanan dan sedang membaca al Qur'an dan talbiyah saat ihram.
Ibnu Umar RDL menyebutkan, "Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya". (HR. Muslim)
Sebagai tambahan, kami ketengahkan beberapa fatwa lain seputar salam:
Pertama tentang hukum memberi dan menjawab salam dengan isyarat. Syaikh Abdullah bin Bazz menjelaskan, tidak boleh salam dengan isyarat saja karena menyerupai orang kafir. Akan tetapi jika dalam kondisi berjauhan, diperbolehkan menggunakan isyarat dengan maksud agar dimengerti, tapi harus tetap mengucapkan kalimat salam. Yang diperbolehkan menjawab salam dengan isyarat adalah orang yang diberi salam dalam keadaan sedang shalat. (Fatwa-fatwa Terkini III, Darul Haq)
Adapun cara menjawabnya bisa dengan jari atau anggukan kepala, sebagaimana disebutkan dalam Nailul Authar, Imam asy Syaukani Juz 2/370 dan Zaadul Ma'ad dalam Bab as Salam 'alal Mushalli.
Kedua tentang kebolehan memberi dan menjawab salam dari ajnabiyah (bukan mahram). Syaikh Shalih bin Fauzan menjelaskan, diperbolehkan memberi atau menjawab salam dari selain mahram asalkan aman dari fitnah. Artinya tidak dikhawatirkan menimbulkan kecurigaan atau hal-hal yang menjurus pada yang haram. Sebagaimana diperbolehkan pula melakukan pembicaraan baik langsung –dengan tetap menggunakan hijab- maupun melalui telepon jika ada keperluan. Pembicaraan tersebut tentunya bukan obrolan sia-sia tapi benar-benar jelas keperluannya.
Ketiga tentang, apakah sunah mengucapkan salam saat masuk masjid ataupun rumah yang kosong.
Menurut Syaikh Shalih bin Fauzan, tidak disunahkan mengucapkan salam ketika masuk masjid jika tidak adas seorangpun di dalamnya. Yang disunahkan adalah shalat tahiyatul masjid sebelum duduk.
Adapun saat memasuki rumah yang kosong, disunahkan mengucapkan salam. Hal ini seperti terdapat dalam riwayat Ibnu Umar, beliau berkata, "Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan :
"Semoga keselatan tercurah pada kita dan semua hamba Allah yang shalih." (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).
Wallahua'lam. (Taufik Anwar)
Referensi: al Muntaqa min Fatawa al Fauzan. Syiakh Shalih bin Fauzan bin Shalih al Fauzan. Fatwa-fatwa Terkini III, Darul Haq. Nailul Authar, Imam asy Syaukani. Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim al Jauziyah dan lainnya.